Label

Senin, 28 Januari 2013

ushul fiqh sem 3 tazkia


RESUME USHUL FIQH


MAHKUM ALAIH (SUBJEK HUKUM)
Pengertian
Adalah orang yang dibebankan oleh Asy-Syâri’ (Allah) untuk melakukan hukum syara’. Karakter orang ini dikenal dengan “Orang Mukallaf”.

Akal Sebagai Dasar Taklif
Akal sebagai dasar taklif (tuntutan). Maka tidak mungkin membekan tuntutan kepada yang tidak berakal; binatang, orang gila, anak kecil, benda mati, dll..
*   Orang gila atau anak-anakyang hanya mempunyai pemahaman global terhadap sebuah tuntutan maka ditoleransi, karena tujuan taklif tidak saja tergantung kepada pemahaman dasar atas tuntutan tetapi juga kepada pemahaman yang rinci atas tuntutan itu.
*   Orang gila atau anak-anak yang tidak cakap (ghairu mumayyiz) masih terkena taklif harta (perdata);
-  Jika mereka merusak harta orang lain maka harus diganti dengan hartanya
-  Jika melakukan tindak pidana, maka dia dikenakan diyat atas hartanya.
-  Harta mereka wajib untuk dizakati.

Kemampuan (Ahliyah) untuk Taklif

Definisi Ahliyah   : kemampuan seseorang untuk memenuhi kewajiban dan menerima hak.
Macam-macam    :
Ditinjau dari kepantasan (shalâhiyah) Ahliyah terbagi menjadi dua (skema kanan):
1.       Ahliyatul Wujûb (kemampuan sekadaar kewajiban)
a.       Pantas/ketetapan menerima hak. Ex.: bisa mendapat harta waris
b.      Pantas/ketetapan menanggung kewajiban. Ex.: jika merusak harta orang lain, maka wajib baginya untuk mengganti.
2.      Ahliyatul Adâ’ (kemampuan untuk mengerjakan!)
a.       Dianggap sah segala pekerjaannya (tasharruf) yang berkaitan dengan syara’. Ex.: Shalatnya sah dan dianggap oleh syara’

Ditinjau dari fase-fase Ahliyah juga terbagi menjadi dua (skema kiri):
1.       Ahliyatul Wujûb (fase dikarenakan faktor kehidupan)
a.       Nâqishah (kurang). Fase ketika manusia masih berupa janin. Ex.: hak untuk dijaga dan dipelihara.
b.      Kâmilah (sempurna). Fase ketika sudah dilahirkan. Ex.: hak untuk mendapat warisan dan memberi warisan. Fase ini belum pada tingkatan wajib sahala, karena wajib shalat termasuk ahliyatul ada’.
2.      Ahliyatul Adâ’ (fase dikarenakan faktor akal)
a.       Mun’adimah (hilang/kosong). Fase ketika sudah dilahirkan tapi belum cakap hukum (ghairul mumayyiz)
b.      Nâqishah (kurang). Fase ketika sudah mulai cakap/tamyiz tapi belum baligh. Ex.: Kecakapan untuk melakukan transaksi jual-beli dalam hal-hal yang bermanfaat, menerima hibah, dan atau menerima wasiat.
c.       Kâmilah (sempurna). Fase sudah mencapai usia baligh (ukuran baligh dilihat pada ket. sebelumnya). Ex.: Kecakapan untuk memenuhi kewajibannya dalam hal shalat, puasa, haji dll..

Halangan Atas Kemampuan (‘Awâridh Ahliyah)
Kondisi dimana seseorang yang berakal dan dewasa berhalangan dikarenakan berkurangnya akal atau hilangnya akal.

Halangan ini terbagi menjadi 2 bagian (lihat skema samping):
1.       Halangan Alami (‘Awâridh Samâwiyah). Halangan yang terjadi di luar kemapuan manusia, seperti:
a.       Gila (Junûn). Secara fisik, seperti shalat, haji, puasa, dll., segala taklifnya digugurkan. Tapi masih dikenakan taklif harta, maka hartanya dijadikan tebusan jika dia merusak harta milik orang lain.
b.      Dungu (al-‘Uttah). Orang dungu yang tidak cakap sama hukumnya dengan orang gila, karena dia hilang akalnya.
c.       Epilepsi/Ayan (al-Ighmâ). Dibebaskan dari beban hukum yang berkaitan dengan hak Allah (rincian mahkum fîh pada UTS kemarin ^_^), berbeda jika berkaitang dengan hak manusia, maka tetap dikenakan taklif. Menikam orang misalkan, maka dia tetap wajib dibebankan hukum.
d.      Lupa (Nisyân). Orang yang lupa dibebaskan taklifnya oleh Allah. Seperti lupa minum ketika dia dalam kondisi berpuasa.
e.       Sakit (Maradh). Sakit yang menyebabkan dia tidak mampu beribadah, kecuali ibadah shalat. Seperti haji, dan sejenis.
2.      Halangan yang tidak Alami (Al-Muktasabah)
a.       Tidur (Naum). Orang yang tidur tidak terkena taklif hingga dia bangun. Ex.: tidur dari pukul 9 pagi sampai 9 malam, maka dia bebas dari tindakan taklif salat dhuhur, ashar, dan maghrib tapi tetap wajib mengqadha’inya.
b.      Mabuk (Sakr). Tidak dibebankan taklif ketika dalam kondisi mabuk, tapi mendapat konsekuensi hukum setelah dia sadar. Berbeda jika mabuk atas kehendak sendiri, minum khamr misalkan, maka dalam kondisi mabuk dia tetap dikenakan taklif.
c.       Bodoh (Safah). Kondisi yang membuat orang tidak bisa mengelola hartanya dengan baik, sehingga ia pergunakan tidak pada tempatnya. Dia lepas dari beban taklif, tapi tetap ditindakpidanakan jika berkaitan dengan hak manusia.
d.      Ketidaktahuan (al-Jahl). Ketidak tahuan akan sebuah hukum. Ex.: tidak tahu bahwa merokok dalam kondisi puasa itu membatalkan. Ket.: menurut sebagian ulama, ketidaktahuan ini bisa membebaskan orang dari beban hukum jika dia jauh dari orang-orang yang mengerti hukum (ulama, ustadz dan praktisi lainnya), berbeda jika dia dekat dengan mereka, maka ketidaktahuannya dianggap sebagai kelalaian.
e.       Keliru (al-Khathâ’). Ada tiga maca keliru:
                                                           i.      Keliru dalam pelaksanaan. Ex.: Dalam kondisi puasa, seseorang keliru (tanpa sengaja) meminum air yang dibuat berkumur.
                                                         ii.      Keliru dalam sasaran. Ex.: menembak sesuatu yang disangka binatang buruan tapi ternyata adalah manusia.
Dua ketegori keliru ini dapat menggugurkan hukum fisik, tapi tidak dengan yang kaitannya dengan manusia.
                                                       iii.      Keliru dalam perkiraan. Ex.: kekeliruan seorang dokter dalam mendiagnosa penyakit pasien.
f.        Terpaksa (Ikrâh). Suatu kondisi yang membuat seseorang harus melakukan sesuatu yang dibencinya atau yang tidak mampu dia lakukan.
                                                           i.      Paksaan Mematikan. Disebut juga paksaan sempurna (ikrâh tâm). Pengaruh paksaan ini terbagi menjadi tiga macam:
·         Dapat merubah hukum, seperti dari haram ke halal. Ex: makan bangkai, darah, daging babi.
·         Perbuatan yang bisa diterima perubahannya dari haram tetapi tidak bisa digugurkan keharamannya pada saat darurat, dengan diberi rukhsah untuk melakukan hal lain. Ex: mengucapkan kata-kata kufur, larangan tidak gugur tetapi dalam keadaan darurat diperbolehkan. Tetapi ahsan dan dapat pahala jika bertahan.
·         Paksaan yang tidak ada rukhsah jika dilanggar bahkan orang yang dipaksa tetap berdosa jika melakukannya. Ex: memukul orangtua.
                                                         ii.      Paksaan yang tidak mematikan. Ex.: secara prinsip menghilangkan kerelaan yaitu ancaman merusak sebagian harta atau pukulan yang tidak merusakan anggota badan seperti ancaman kurungan atau diikat. Disebut paksaan yang kurang (ikrâh nâqish).
                                                       iii.      Paksaan yang mengena keluarga atau kerabatnya. Seperti paksaan dengan dalih mengurung ayahnya.

MAQÂSHIDUSY-SYARÃŽ’AH (TUJUAN HUKUM SYARA’)

Tiga Tujuan Hukum Islam (Syara):
1.       Penyucian Jiwa (Tazkiyatun-Nafsi)
Agar setiap muslim bisa menjadi sumber kebaikan bagi masyarakat serrta lingkungannya. Ibadah-ibadah dapat membersihkan jiwa dari kotoran-kotoran dengki yang melekat di hati manusia. Ex.: ibadah sholat jama’ah memiliki fungsi membersihkan jiwa masyarakat dan sosial yang majemuk.
2.      Menegakkan keadilan (Iqâmatul-‘Adli)
Adil baik menyangkut muslim maupun non muslim. Tujuan ditegakkannya keadilan islam amatlah luhur, ia menyangkut berbagai asfek kehidupan: adil di bidang hukum, peradilan dan persaksian serta adil dalam muamalah.
3.      Kemaslahatan (Al-Mashlahah)
Hukum yang disyariatkan karena ada kemaslahatan di dalamnya. Terkadang kemaslahatannya terletak pada kemaslahatan hakiki. Ex.: dengan puasa dapat memahami bahwa Allah Maha Kaya, dll..
Tingkat Kemaslahatan
Ada tiga tingkat dalam Kemaslahatan:
1.     Primer (Dhâruriyât)
Tingkatan di mana berbagai mashlahat tidak akan terealisir tanpa terpenuhinya tingkatan ini. Ada lima acuan dalam tingkat kemaslahatan primer ini:
a.    Acuan Menjaga Agama (Hifdzud-Dîn)
Islam dengan peraturan-peraturan hukumnya melindungi kebebasan beragama. Ibadah disyariatkan  untuk memelihara dan mempertahankan kehidupan beragama serta membentengi jiwa dengan nilai-nilai keagamaan.
b.    Acuan Menjaga Jiwa (Hifdzun-Nafs)
Memelihara hak untuk hidup secara terhormat dan memelihara jiwa agar terhindar dari tindakan penganiayaan, berupa pembunuhan, pemotongan anggota badan maupun tindakan melukai.
c.    Acuan Menjaga Akal (Hifdzul-‘Aql)
Menjaga akal agar tidak terkena bahaya yang mengakibatkan orang yang bersangkutan tak berguna lagi di masyarakat, menjadi sumber keburukan dan penyakit bagi orang lain.
d.    Acuan Menjaga Harta (Hifdzul-Mâl)
Untuk mencegah perbuatan yang menodai harta.Ex.: pencurian dan ghasab. Mengatur sistem muamalah atas dasar keadilan dan kerelaan.
e.    Acuan Menjaga Kehormatan (Hifdzul-‘Ardh)
Untuk mencegah perbuatan yang menodai kehormatan.Ex.: aturan dalam nikah, yang bertujuan untuk menjaga kehormatan keluarga suami maupun istri.
2.    Skunder (Hâjiyat)
Segala sesuatu yang oleh hukum syara’ tidak dimaksudkan untuk memelihara lima hal pokok tadi (a s.d e), akan tetapi dimaksudkan untuk menghilangkan kesulitan (masyaqqat), kesempitan, atau karena kehati-hatian (ihtiyâth) terhadap lima hal pokok tersebut.Ex.: seperti diharamkannya menjual arak agar tidak mudah memperolehnya.
3.    Tersier (Hasaniyât)
Hal-hal yang tidak dalam rangka merealisasi 5 kemaslahatan pokok tersebut, tidak pula dalam rangka ihtiyâth, akan tetapi dimaksudkan untuk menjaga kehormatan dan melindungi lima hal pokok hukum diatas.
Ex.: seperti melindungi diri dari dakwaan batil dan makian orang. Tidak menyangkut sumber kehidupan dan hajat hidup. Tingkathasniyat ini melengkapi dharuriyat dan hajjiyat.

Ket. tambahan: Dosennya pernah menjelaskan bahwa dalam salat terdapat dua aspek tujuan syariat (maqâshidus-Syarîah): 1). Aspek kaifiyah (tata caranya), 2). Tujuan disyariatkannya salat (menghilangkan kemunkaran dll..)


MASHADIR HUKMISY-SYAR’I (SUMBER HUKUM SYARA)

Bagian-bagian sumber hukum syara telah diurai di grafik pada UTS, yang akan dibahas dalam UAS Cuma dua sumber hukum saja; Al Quran dan As Sunnah.

Sumber Hukum : sesuata yang dijadikan landasan hukum oleh para ulama dalam menetapkan keputusan hukum dengan menggunakan metode ijtihad.
Kitab Hukum     : kumpulan hasil ijtihad ulama dalam menetapkan satu keputusan hukum yang berlandaskan pada sumber hukum.
                             Ciri Sumber Hukum                              Ciri Kitab Hukum
                             1. Tidak Berubah                                       1. Bisa Berubah-ubah
                             2. Global                                                   2. Terperinci
                             3. dll.                                                         3. dll.

AL QURAN

Definisi     : Kitab mukjizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, tertulis dalam beberapa lembar halaman, dipindah secara mutawatir (berantai), bernilai ibadah dengan memabacanya, dimulai dengan surah Al-Fâtihah dan diakhiri dengan surah An-Nâs.
Ket. Tambahan: Penjelesan tentang Mukjizat, dan Mutawatir sudah dijelaskan di Ilmu Al Quran pada semester I di matrikulasi. Selamat bernostalgia ke matrik...empang, jembatan, lapangan, ipb dll... hehehe ^_^
Ayat Al Quran        Makkiyah  : Ayat yang diturunkan sebelum hijrah
                               Madaniyah            : Ayat yang diturunkan sesudah hijrah
Al Quran dalam menjelaskan hukum terbagi menjadi model;
1.      Al Quran menjelas hukum secara sempurna. Ex.: “Barang siapa di antara kalian yang telah melihat bulan (awal bulan ramadhan), maka berpuasalah!”
2.      Nash Al Quran bersifat mujmal (global). Ex.: Lafadh yang tidak jelas maksudnya kecuali setelah dijelaskan oleh As Sunnah (pembahasan pada bab berikutnya).
3.      Nash Al Quran yang hanya menjelaskan pokok-pokok hukum. Ex.: “Wanita-wanita yang ditalak, hendaklah menahan diri (menunguu) tiga kali quru’.” Al Quran hahnya menjelaskan quru’, hingga ulama ada yang berpendapat bahwa quru’ adalah masa haid, ada yang bilang masa suci.
AS-SUNNAH
Definisi     :Basaha    : Perilaku seseorang tertentu, baik perilaku yang baik maupun yang buruk.
                     Istilah     : Segala perilaku Rasul yang berhubungan dengan hukum syara baik berupa ucapan (Qauliyah), perbuatan (Fi’liyah) atau pengakuan (Taqrîriyah). [Dr. Muhammad ‘Ajaj al-Khatib]

Bagian Sunnah
1.       Sunnah Qauliyah
Syariat yang bersumber dari ucapan Rasulullah SAW.Ex.: Sabda Nabi,“Barangsiapa tidur sehingga meninggalkan shalat, atau lupa maka kerjakanlah shalat ketika ingat.”
2.      Sunnah Fi’liyah
Syariat yang bersumber dari perbuatan Nabi SAW.Ex.: Sabda Nabi, “Lakukanlah shalat persis sebagaimana kaliat melihatku mengerjakan shalat.”
3.      Sunnah Taqririyah
Pembenaran Nabi SAW atas perbuatan/perkataan yang dilakukan/diucapkan oleh sahabat.Ex.: pengakuan Nabi terhadap orang yang memakan keledai liar ketidaksetujuan Nabi ketika sahabat memakan keledai peliharaan.

Sunnah Sebagai Sumber Hukum
Alasan sunnah digunakan sebagai hujjah:
§  Adanya nash al-Quran yang memerintahkan agar tunduk dan patuh terhadap Nabi. Firman Allah,“Barangsiapa yang mentaati Rasul, sesungguhnya ia telah menta’ati Allah.” (Qs. An Nisa [04]:80)
§  Sunnah Nabi pada dasarnya adalah penyampaian tabligh (risalah) Tuhan. (Qs. Al Maidah [05]:67)
§  Nash Al Quran menjelaskan bahwa Nabi berbicara atas nama Allah. (Qs. An Najm [53]:3-4)
§  Ayat-ayat Al Quran dengan jelas menerangkan kewajiban iman kepada Rasul. (Qs. Al A’raf [07]:158)

Fungsi Sunnah
Sunnah berfungsi menopang Al Quran dalam menjelaskan hukum-hukum Islam dan terkadang sebagai hukum baru. Bentuk penopang dimaksud terumuskan dalam tiga bagian (lihat skema samping):
1.       Menafsiri Al Quran (Mufassirah)
a.         Menentukan ayat Al Quran yang masih mutlak.
b.         Menjelaskan ayat yang masih belum jelas (mubham)
c.         Merinci ayat yang masih global (mujmal).
2.      Menguatkan Al Quran (Muakkidah)
3.      Sebagai Hukum Baru


Pembagian Sunnah dari Segi Periwayatannya

Ada dua macam Sunnah jika ditinjau dari segi periwayatannya:
1.       Sambung Sanadnya (Muttashilus-Sanad). Sanadnya sambung hingga Nabi Muhammad.
a.       HadisMutawatir    : Hadis yang diriwayatkan oleh sekelompok orang yang tidak terhitung jumlahnya, mereka tidak mungkin berbohong, dan sanadnya sampai kepada Nabi SAW.
b.      Hadis Masyhur      : Hadis yang diriwayatkan oleh dua orang atau lebih, dan mereka tidak mungkin berbohong. Kemasyhurannya berada pada tingkatan generasi setelah masa sahabat atau dikenal dengan masa tabi’in.
c.       HadisAhad            : Hadis yang diriwayatkan dari Rasulullah dari seorang, dua orang atau sedikit lebih banyak dan belum mencapai syarat hadist masyhur.
2.      Tidak Bersambung Sanadnya (Ghairu Muttashilus-Sanad)
a.       Hadis Mursal
b.      Hadis Munqathi’

Pembagian Perbuatan Rasul
1.      Bersifat mendekatkan diri pada dan taat pada Allah (Tasyrî’iyah)
a.       Diserta dalil tentang kekhususannya kepada Rasul. Ex.: Menikah lebih dari empat orang.
b.      Tidak disertai dalil tentang kekhususannya, bahkan juga umum untuk semua umat yang lain. Ex.: salat, puasa, dan haji.
2.      Tidak berkaitan dengan ibadah dan ketaatan pada Allah (Ghairu Tasyrî’iyah). Ex.: makan, minum, tidur dll..


Tidak ada komentar:

Posting Komentar