MAHKUM
ALAIH (SUBJEK HUKUM)
Pengertian
Adalah
orang yang dibebankan oleh Asy-Syâri’ (Allah) untuk melakukan hukum syara’.
Karakter orang ini dikenal dengan “Orang Mukallaf”.
Akal
Sebagai Dasar Taklif
Akal
sebagai dasar taklif (tuntutan). Maka tidak mungkin membekan tuntutan kepada
yang tidak berakal; binatang, orang gila, anak kecil, benda mati, dll..
* Orang
gila atau anak-anakyang hanya mempunyai pemahaman global terhadap sebuah tuntutan
maka ditoleransi, karena tujuan taklif tidak saja tergantung kepada pemahaman
dasar atas tuntutan tetapi juga kepada pemahaman yang rinci atas tuntutan itu.
* Orang
gila atau anak-anak yang tidak cakap (ghairu mumayyiz) masih terkena
taklif harta (perdata);
- Jika mereka merusak harta orang lain maka
harus diganti dengan hartanya
- Jika melakukan tindak pidana, maka dia
dikenakan diyat atas hartanya.
- Harta mereka wajib untuk dizakati.
Kemampuan (Ahliyah) untuk Taklif
Definisi Ahliyah : kemampuan seseorang untuk memenuhi
kewajiban dan menerima hak.
Macam-macam :
Ditinjau
dari kepantasan (shalâhiyah) Ahliyah terbagi menjadi dua (skema kanan):
1.
Ahliyatul Wujûb (kemampuan
sekadaar kewajiban)
a. Pantas/ketetapan
menerima hak. Ex.: bisa mendapat harta waris
b. Pantas/ketetapan
menanggung kewajiban. Ex.: jika merusak harta orang lain, maka wajib baginya
untuk mengganti.
2.
Ahliyatul Adâ’ (kemampuan
untuk mengerjakan!)
a. Dianggap
sah segala pekerjaannya (tasharruf) yang berkaitan dengan syara’. Ex.:
Shalatnya sah dan dianggap oleh syara’
Ditinjau
dari fase-fase Ahliyah juga terbagi menjadi dua (skema kiri):
1.
Ahliyatul Wujûb (fase
dikarenakan faktor kehidupan)
a. Nâqishah
(kurang). Fase ketika manusia masih berupa janin. Ex.: hak untuk dijaga dan
dipelihara.
b. Kâmilah
(sempurna). Fase ketika sudah dilahirkan. Ex.: hak untuk mendapat warisan dan
memberi warisan. Fase ini belum pada tingkatan wajib sahala, karena wajib
shalat termasuk ahliyatul ada’.
2.
Ahliyatul Adâ’ (fase
dikarenakan faktor akal)
a. Mun’adimah
(hilang/kosong). Fase ketika sudah dilahirkan tapi belum cakap hukum (ghairul
mumayyiz)
b. Nâqishah
(kurang). Fase ketika sudah mulai cakap/tamyiz tapi belum baligh. Ex.:
Kecakapan untuk melakukan transaksi jual-beli dalam hal-hal yang bermanfaat,
menerima hibah, dan atau menerima wasiat.
c. Kâmilah
(sempurna). Fase sudah mencapai usia baligh (ukuran baligh dilihat pada ket.
sebelumnya). Ex.: Kecakapan untuk memenuhi kewajibannya dalam hal shalat,
puasa, haji dll..
Halangan Atas Kemampuan (‘Awâridh Ahliyah)
Kondisi dimana seseorang yang berakal dan dewasa berhalangan
dikarenakan berkurangnya akal atau hilangnya akal.
Halangan ini terbagi menjadi 2 bagian (lihat skema samping):
1.
Halangan Alami (‘Awâridh
Samâwiyah). Halangan yang terjadi di luar
kemapuan manusia, seperti:
a.
Gila (Junûn). Secara
fisik, seperti shalat, haji, puasa, dll., segala taklifnya digugurkan. Tapi
masih dikenakan taklif harta, maka hartanya dijadikan tebusan jika dia merusak
harta milik orang lain.
b.
Dungu (al-‘Uttah).
Orang dungu yang tidak cakap sama hukumnya dengan orang gila, karena dia hilang
akalnya.
c.
Epilepsi/Ayan (al-Ighmâ).
Dibebaskan dari beban hukum yang berkaitan dengan hak Allah (rincian mahkum fîh
pada UTS kemarin ^_^), berbeda jika berkaitang dengan hak manusia, maka tetap
dikenakan taklif. Menikam orang misalkan, maka dia tetap wajib dibebankan
hukum.
d.
Lupa (Nisyân). Orang
yang lupa dibebaskan taklifnya oleh Allah. Seperti lupa minum ketika dia dalam
kondisi berpuasa.
e.
Sakit (Maradh). Sakit
yang menyebabkan dia tidak mampu beribadah, kecuali ibadah shalat. Seperti
haji, dan sejenis.
2.
Halangan yang tidak Alami (Al-Muktasabah)
a.
Tidur (Naum). Orang
yang tidur tidak terkena taklif hingga dia bangun. Ex.: tidur dari pukul 9 pagi
sampai 9 malam, maka dia bebas dari tindakan taklif salat dhuhur, ashar, dan
maghrib tapi tetap wajib mengqadha’inya.
b.
Mabuk (Sakr). Tidak
dibebankan taklif ketika dalam kondisi mabuk, tapi mendapat konsekuensi hukum
setelah dia sadar. Berbeda jika mabuk atas kehendak sendiri, minum khamr
misalkan, maka dalam kondisi mabuk dia tetap dikenakan taklif.
c.
Bodoh (Safah). Kondisi
yang membuat orang tidak bisa mengelola hartanya dengan baik, sehingga ia
pergunakan tidak pada tempatnya. Dia lepas dari beban taklif, tapi tetap
ditindakpidanakan jika berkaitan dengan hak manusia.
d.
Ketidaktahuan (al-Jahl).
Ketidak tahuan akan sebuah hukum. Ex.: tidak tahu bahwa merokok dalam kondisi
puasa itu membatalkan. Ket.: menurut sebagian ulama, ketidaktahuan ini bisa
membebaskan orang dari beban hukum jika dia jauh dari orang-orang yang mengerti
hukum (ulama, ustadz dan praktisi lainnya), berbeda jika dia dekat dengan
mereka, maka ketidaktahuannya dianggap sebagai kelalaian.
e.
Keliru (al-Khathâ’). Ada
tiga maca keliru:
i.
Keliru dalam pelaksanaan. Ex.:
Dalam kondisi puasa, seseorang keliru (tanpa sengaja) meminum air yang dibuat
berkumur.
ii.
Keliru dalam sasaran. Ex.:
menembak sesuatu yang disangka binatang buruan tapi ternyata adalah manusia.
Dua ketegori keliru ini dapat menggugurkan hukum fisik, tapi
tidak dengan yang kaitannya dengan manusia.
iii.
Keliru dalam perkiraan. Ex.:
kekeliruan seorang dokter dalam mendiagnosa penyakit pasien.
f.
Terpaksa (Ikrâh). Suatu
kondisi yang membuat seseorang harus melakukan sesuatu yang dibencinya atau
yang tidak mampu dia lakukan.
i.
Paksaan Mematikan. Disebut
juga paksaan sempurna (ikrâh tâm). Pengaruh paksaan ini terbagi menjadi
tiga macam:
·
Dapat merubah hukum, seperti
dari haram ke halal. Ex: makan bangkai, darah, daging babi.
·
Perbuatan yang bisa diterima
perubahannya dari haram tetapi tidak bisa digugurkan keharamannya pada saat
darurat, dengan diberi rukhsah untuk melakukan hal lain. Ex: mengucapkan
kata-kata kufur, larangan tidak gugur tetapi dalam keadaan darurat diperbolehkan.
Tetapi ahsan dan dapat pahala jika bertahan.
·
Paksaan yang tidak ada rukhsah
jika dilanggar bahkan orang yang dipaksa tetap berdosa jika melakukannya. Ex:
memukul orangtua.
ii.
Paksaan yang tidak mematikan.
Ex.: secara prinsip menghilangkan kerelaan yaitu ancaman merusak sebagian harta
atau pukulan yang tidak merusakan anggota badan seperti ancaman kurungan atau
diikat. Disebut paksaan yang kurang (ikrâh nâqish).
iii.
Paksaan yang mengena keluarga
atau kerabatnya. Seperti paksaan dengan dalih mengurung ayahnya.
MAQÂSHIDUSY-SYARÃŽ’AH (TUJUAN HUKUM SYARA’)
Tiga Tujuan Hukum Islam (Syara):
1.
Penyucian Jiwa (Tazkiyatun-Nafsi)
Agar setiap muslim bisa menjadi sumber kebaikan bagi
masyarakat serrta lingkungannya. Ibadah-ibadah dapat membersihkan jiwa dari kotoran-kotoran
dengki yang melekat di hati manusia. Ex.: ibadah sholat jama’ah memiliki fungsi
membersihkan jiwa masyarakat dan sosial yang majemuk.
2.
Menegakkan keadilan (Iqâmatul-‘Adli)
Adil baik menyangkut muslim maupun non muslim. Tujuan
ditegakkannya keadilan islam amatlah luhur, ia menyangkut berbagai asfek
kehidupan: adil di bidang hukum, peradilan dan persaksian serta adil dalam
muamalah.
3.
Kemaslahatan (Al-Mashlahah)
Hukum yang disyariatkan karena ada kemaslahatan di
dalamnya. Terkadang kemaslahatannya terletak pada kemaslahatan hakiki. Ex.:
dengan puasa dapat memahami bahwa Allah Maha Kaya, dll..
Tingkat Kemaslahatan
Ada tiga tingkat dalam Kemaslahatan:
1.
Primer (Dhâruriyât)
Tingkatan di mana berbagai mashlahat tidak akan terealisir
tanpa terpenuhinya tingkatan ini. Ada lima acuan dalam tingkat kemaslahatan
primer ini:
a.
Acuan Menjaga Agama (Hifdzud-Dîn)
Islam dengan peraturan-peraturan hukumnya melindungi
kebebasan beragama. Ibadah disyariatkan
untuk memelihara dan mempertahankan kehidupan beragama serta membentengi
jiwa dengan nilai-nilai keagamaan.
b.
Acuan Menjaga Jiwa (Hifdzun-Nafs)
Memelihara hak untuk hidup secara terhormat dan memelihara
jiwa agar terhindar dari tindakan penganiayaan, berupa pembunuhan, pemotongan
anggota badan maupun tindakan melukai.
c.
Acuan Menjaga Akal (Hifdzul-‘Aql)
Menjaga akal agar tidak terkena bahaya yang mengakibatkan
orang yang bersangkutan tak berguna lagi di masyarakat, menjadi sumber
keburukan dan penyakit bagi orang lain.
d.
Acuan Menjaga Harta (Hifdzul-Mâl)
Untuk mencegah perbuatan yang menodai harta.Ex.: pencurian
dan ghasab. Mengatur sistem muamalah atas dasar keadilan dan kerelaan.
e.
Acuan Menjaga Kehormatan (Hifdzul-‘Ardh)
Untuk mencegah perbuatan yang menodai kehormatan.Ex.: aturan
dalam nikah, yang bertujuan untuk menjaga kehormatan keluarga suami maupun
istri.
2.
Skunder (Hâjiyat)
Segala sesuatu yang oleh hukum syara’ tidak dimaksudkan untuk
memelihara lima hal pokok tadi (a s.d e), akan tetapi dimaksudkan untuk
menghilangkan kesulitan (masyaqqat), kesempitan, atau karena
kehati-hatian (ihtiyâth) terhadap lima hal pokok tersebut.Ex.: seperti
diharamkannya menjual arak agar tidak mudah memperolehnya.
3.
Tersier (Hasaniyât)
Hal-hal yang tidak dalam
rangka merealisasi 5 kemaslahatan pokok tersebut, tidak pula dalam rangka ihtiyâth,
akan tetapi dimaksudkan untuk menjaga kehormatan dan melindungi lima hal pokok
hukum diatas.
Ex.: seperti melindungi diri dari dakwaan batil dan makian
orang. Tidak menyangkut sumber kehidupan dan hajat hidup. Tingkathasniyat ini melengkapi
dharuriyat dan hajjiyat.
Ket. tambahan: Dosennya pernah menjelaskan bahwa dalam salat
terdapat dua aspek tujuan syariat (maqâshidus-Syarîah): 1). Aspek
kaifiyah (tata caranya), 2). Tujuan disyariatkannya salat (menghilangkan
kemunkaran dll..)
MASHADIR HUKMISY-SYAR’I
(SUMBER HUKUM SYARA)
Bagian-bagian sumber hukum syara telah diurai di grafik pada
UTS, yang akan dibahas dalam UAS Cuma dua sumber hukum saja; Al Quran dan As
Sunnah.
Sumber Hukum : sesuata yang
dijadikan landasan hukum oleh para ulama dalam menetapkan keputusan hukum
dengan menggunakan metode ijtihad.
Kitab Hukum : kumpulan hasil ijtihad ulama dalam menetapkan satu keputusan
hukum yang berlandaskan pada sumber hukum.
Ciri Sumber Hukum Ciri Kitab Hukum
1. Tidak Berubah 1.
Bisa Berubah-ubah
2. Global 2. Terperinci
3. dll. 3.
dll.
AL QURAN
Definisi : Kitab mukjizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad,
tertulis dalam beberapa lembar halaman, dipindah secara mutawatir (berantai),
bernilai ibadah dengan memabacanya, dimulai dengan surah Al-Fâtihah dan
diakhiri dengan surah An-Nâs.
Ket. Tambahan: Penjelesan tentang Mukjizat, dan Mutawatir
sudah dijelaskan di Ilmu Al Quran pada semester I di matrikulasi. Selamat
bernostalgia ke matrik...empang, jembatan, lapangan, ipb dll... hehehe ^_^
Ayat Al Quran Makkiyah : Ayat yang diturunkan sebelum hijrah
Madaniyah : Ayat yang diturunkan sesudah hijrah
Al Quran dalam menjelaskan hukum terbagi menjadi model;
1.
Al Quran menjelas hukum secara
sempurna. Ex.: “Barang siapa di antara kalian yang telah melihat bulan (awal
bulan ramadhan), maka berpuasalah!”
2.
Nash Al Quran bersifat mujmal
(global). Ex.: Lafadh yang tidak jelas maksudnya kecuali setelah dijelaskan
oleh As Sunnah (pembahasan pada bab berikutnya).
3.
Nash Al Quran yang hanya
menjelaskan pokok-pokok hukum. Ex.: “Wanita-wanita yang ditalak, hendaklah
menahan diri (menunguu) tiga kali quru’.” Al Quran hahnya menjelaskan
quru’, hingga ulama ada yang berpendapat bahwa quru’ adalah masa haid, ada yang
bilang masa suci.
AS-SUNNAH
Definisi :Basaha : Perilaku seseorang tertentu, baik perilaku
yang baik maupun yang buruk.
Istilah :
Segala perilaku Rasul yang berhubungan dengan hukum syara baik berupa ucapan (Qauliyah),
perbuatan (Fi’liyah) atau pengakuan (Taqrîriyah). [Dr. Muhammad ‘Ajaj al-Khatib]
Bagian Sunnah
1.
Sunnah Qauliyah
Syariat yang bersumber dari
ucapan Rasulullah SAW.Ex.: Sabda Nabi,“Barangsiapa tidur sehingga
meninggalkan shalat, atau lupa maka kerjakanlah shalat ketika ingat.”
2.
Sunnah Fi’liyah
Syariat yang bersumber dari
perbuatan Nabi SAW.Ex.: Sabda Nabi, “Lakukanlah shalat persis sebagaimana
kaliat melihatku mengerjakan shalat.”
3.
Sunnah Taqririyah
Pembenaran Nabi SAW atas perbuatan/perkataan yang
dilakukan/diucapkan oleh sahabat.Ex.: pengakuan Nabi terhadap orang yang memakan
keledai liar ketidaksetujuan Nabi ketika sahabat memakan keledai peliharaan.
Sunnah Sebagai Sumber Hukum
Alasan sunnah digunakan sebagai hujjah:
§ Adanya nash al-Quran yang memerintahkan agar tunduk dan patuh
terhadap Nabi. Firman Allah,“Barangsiapa yang mentaati Rasul, sesungguhnya
ia telah menta’ati Allah.” (Qs. An Nisa [04]:80)
§ Sunnah Nabi pada dasarnya adalah penyampaian tabligh (risalah)
Tuhan. (Qs. Al Maidah [05]:67)
§ Nash Al Quran menjelaskan bahwa Nabi berbicara atas nama
Allah. (Qs. An Najm [53]:3-4)
§ Ayat-ayat Al Quran dengan jelas menerangkan kewajiban iman
kepada Rasul. (Qs. Al A’raf [07]:158)
Fungsi Sunnah
Sunnah berfungsi menopang Al Quran dalam
menjelaskan hukum-hukum Islam dan terkadang sebagai hukum baru. Bentuk penopang
dimaksud terumuskan dalam tiga bagian (lihat skema samping):
1.
Menafsiri Al Quran (Mufassirah)
a.
Menentukan ayat Al Quran yang
masih mutlak.
b.
Menjelaskan ayat yang masih
belum jelas (mubham)
c.
Merinci ayat yang masih global
(mujmal).
2.
Menguatkan Al Quran (Muakkidah)
3.
Sebagai Hukum Baru
Pembagian Sunnah dari Segi Periwayatannya
Ada dua macam Sunnah jika ditinjau dari segi periwayatannya:
1.
Sambung Sanadnya (Muttashilus-Sanad). Sanadnya sambung hingga Nabi Muhammad.
a.
HadisMutawatir : Hadis yang diriwayatkan oleh sekelompok
orang yang tidak terhitung jumlahnya, mereka tidak mungkin berbohong, dan
sanadnya sampai kepada Nabi SAW.
b.
Hadis Masyhur : Hadis yang diriwayatkan oleh dua orang
atau lebih, dan mereka tidak mungkin berbohong. Kemasyhurannya berada pada
tingkatan generasi setelah masa sahabat atau dikenal dengan masa tabi’in.
c.
HadisAhad : Hadis yang diriwayatkan dari
Rasulullah dari seorang, dua orang atau sedikit lebih banyak dan belum mencapai
syarat hadist masyhur.
2.
Tidak Bersambung Sanadnya (Ghairu
Muttashilus-Sanad)
a.
Hadis Mursal
b.
Hadis Munqathi’
Pembagian Perbuatan Rasul
1.
Bersifat mendekatkan diri pada
dan taat pada Allah (Tasyrî’iyah)
a.
Diserta dalil tentang
kekhususannya kepada Rasul. Ex.: Menikah lebih dari empat orang.
b.
Tidak disertai dalil tentang
kekhususannya, bahkan juga umum untuk semua umat yang lain. Ex.: salat, puasa,
dan haji.
2.
Tidak berkaitan dengan ibadah
dan ketaatan pada Allah (Ghairu Tasyrî’iyah). Ex.: makan, minum, tidur
dll..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar