Label

Minggu, 07 Oktober 2012

pengertian akad musyarakah (FULL)



Pengertian akad musyarakah :
Menurut 4 madzhab
         A. Al-Musyarakah (Partnership, Project Financing Participation)
         1. Pengertian
  1. Secara etimologi: Al-Musyarakah atau “Asy-Syirkah” berarti “percampuran” atau percampuran antara sesuatu dengan yang lainnya (Lihat: Ibn Mandzur, Lisan Al-’Arab (10/448, Az-Zubaidi, Taj al-’arus (7/148).
  2. Secara terminologi: 
                     1) Hanafiah: al-musyarakah adalah akad yang dilakukan oleh dua orang  yang bersyirkah (bekerjasama) dalam modal dan keuntungan (Ibn ‘Abidin, Radd al-mukhtar ‘ala ad-dur al-mukhtar (3/364).
                     Percampuran dua bagian orang -atau lebih- yang melakukan kerjasama tanpa  ada keistimewaan satu sama lain (al-Jurjani, at-ta’rifat (111).
                     2) Malikiah: al-musyarakah adalah suatu keizinan untuk bertindak secara hukum bagi dua orang yang bekerjasama terhadap harta mereka (Ad-dardir, Hasyiah ad-dasuki (3/348)
                     3) Syafi’iah: al-musyarakah adalah adanya ketetapan hak atas sesuatu bagi dua orang –atau lebih-  yang melakukan kerjasama dengan cara yang diketahui (masyhur) (Al-khathib, Mughni al-muhtaj (2/211)
                     4) Hanabilah: al-musyarakah adalah berkumpul (sepakat) dalam suatu hak dan perbuatan/tindakan (Ibn Qudamah, al-mughni (5/109).
Ø  Dari difenisi di atas dapat disimpulkan bahwa al-musyarakah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu di mana masing-masing pihak memberikan konstribusi dana (atau amal/expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai kesepakatan.
2. Landasan hukum al-musyarakah adalah:
(a) Al-Quran:
v  (QS. An-Nisaa’: 12: (… maka mereka berserikat pada sepertiga);
v  QS. Shaad: 24: (Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian berbuat zhalim kepada sebagian yang lain kecuali orang yang beriman dan beramal sale).
(b) Al-Hadits : Dalam sejumlah hadits Rasulullah disebutkan bahwa ketika beliau diutus, banyak masyarakat di sekitarnya mempraktikkan kerjasama dalam bentuk musyarakah dan Rasulullah membolehkan transaksi tersebut, seperti hadits-hadits di bawah ini:
v  HR. Abu Daud no. 2936 (kitab al-buyu’) dan al-Hakim Dari Abu Hurairah, Rasulullah saw bersabda: (sesungguhnya Allah Azza wa jallah berfirman: Aku pihak ketiga dari dua orang yang berserikat selama salah satunya tidak mengkhiananti lainnya). Hadits tersebut menurut At-Turmuzi adalah hadits “hasan” sedang Imam Al-Hakim mengkategorikan sebagai hadits sahih.
v  HR. At-Turmuzi dari Amr bin “Auf: (Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin, kecuali perdamaian yang dapat meharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram, dan kaum muslimin selalu terikat dengan syarat-syarat yang mereka telah tentukan, kecuali syarat yang dapat mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram).
v  HR. Al-Bukari: (Allah akan ikut membantu doa untuk orang berserikat, selama di antara mereka tidak saling menghiananti).
v  HR. Abu Daud dan Al-Hakim: (Tangan (pertolongan) Allah berada pada dua orang yang bersyarikat (melakukan transaksi musyarakah), selama mereka tidak ada pengkhianatan).
v  HR. At-Thabrani dari Ibn Umar, Rasulullah bersabda: (Tiada kesmpurnaan iman bagi setiap orang yang tidak beramanah, tiada shalat bagi yang tidak bersuci).
(c) Al-Ijma’ (Konsensus): Para tokoh ulama sepanjang zaman telah melakukan ijma’ (consensus) terhadap legitimasi al-wadi’ah, karena kebutuhan manusia terhadap hal tersebut jelas terlihat. (Lihat: Ibn Qudamah dalam Al-Mughni dan Imam As-Sarkhasi dalam Al-Mabsuth).
(d) Secara rasio: setiap individu atau golongan tertentu sangat memerlukan adanya transaksi musyarakah (kegiatan partnership dengan yang lainnya) baik dalam aktifitas perdagangan atau investasi guna terwujudnya saling manfaat antara satu sama lain, karena ada pihak-pihak (individu) tertentu memiliki modal yang cukup, namun tidak memiliki kemampuan manajerial dalam mengelola modal tersebut. Di lain pihak, kondisi saat ini sangat menghendaki adanya transaksi partnership dalam melakukan aktifitas keuangan dan ekonomi (perdagangan dan investasi) dengan semakin ketatnya kompetisi dan meluasnya jangkauan kegiatan tersebut dengan banyak industri-industri raksasa yang tidak mungkin hanya ditangani orleh satu orang. Maka dengan sistem transaksi musyarakah diharapkan akan dapat mengelola dengan baik sumber kekayaan alam yang ada baik dengan bentuk investasi atau perdagangan.
3. Jenis-jenis al-musyarakah:
v  Jenis-jenis al-musyarakah ada dua:
a.         musyarakah pemilikan (syirkat al-amlak): yaitu persekutuan (kerjasama partnership) antara dua orang atau lebih dalam kepemilikan salah satu barang dengan salah satu sebab kepemilikan. musyarakah ini dapat tercipta karena warisan, wasiat, hibah, jaul  beli atau kondisi lainnya yang mengakibatkan pemilikan suatu asset oleh dua orang atau lebih.
Ø  Musyarakah pemilikan ini oleh ahli fiqh dibagi lagi menjadi dua:
(1)   Syirkah ikhtiyar atau perserikatan yang dilandasi pilihan orang yang berserikat, contoh:  dua orang sepakat berserikat membeli suatu barang atau mereka menerima harta pemberian (hibah, wasiat, wakaf dsb) maka harta yang mereka beli atau terima secara berserikat menjadi harat serikat bagi mereka berdua, karena perserikatan muncul akibat tindakan hukum kedua orang berserikat tersebut.
(2)   Syirkah ijbari (perserikatan yang muncul secara paksa bukan atas keinginan orang yang berserikat); yaitu sesuatu yang ditetapkan menjadi milik dua orang atau lebih tanpa kehendak mereka, seperti harta warisan yang diterima karena adanya kematian dari salah satu keluarga. Status kepemilikan secara hukum menurut fukaha adalah menjadi milik masing-masing yang berserikat sesuai haknya dan bersifat berdiri sendiri.  
b.         musyarakah akad/kontrak (syirkat al-’uqud) yaitu akad kerjasama antara dua orang atau lebih dan bersepakat untuk berserikat dalam modal dan keuntungan.
v  Musyarakah akad terbagi menjadi:
(1)   Syarikah Al-Mufāwadah adalah transaksi kerjasama antara dua orang atau lebih, dimana setiap pihak memberikan suatu porsi dari keseluruhan dana (modal) dan berpartisipasi dalam kerja/usaha, masing-masing setiap pihak membagi keuntungan dan kerugian secara sama. kata “mufawadah” adalah “musawah” (kesamaan). Jumhur ulama (Hanafiah, Malikiah  dan Hanabilah) membolehkan dengan syarat memiliki porsi yang sama baik dalam berperan pada modal, hutang dan pelaksanaan operasional. Sementara Syafi’iah tidak membolehkan, karena ada percampuran pada modal, menurutnya keuntungan merupakan, sehingga  tidak boleh ada perserikatan pada hasil (cabang) kalau tidak ada persekutuan pada asalnya.
(2)   Syarikah Al-‘Inām adalah kontrak antara dua orang atau lebih, dimana setiap pihak memberikan porsi dari kesulurahan dana dan berpartisipasi dalam kerja, dengan kesepakatan berbagi dalam keuntungan dan kerugian. Bagian masing-masing pihak tidak harus selalu sama, sesuai dengan kesepakatan mereka.
            Ulama fiqh secara ijma’ (konsensus) membolehkan bentuk transaksi seperti ini. Landasannya, Rasulullah saw pernah melakukan kerjasama seperti ini dengan Al-Saib bin Syarik kemudian para sahabatnya melegitimasi kerjasama tersebut.
v  Namun para ulama fiqh klasik memberikan ketentuan-ketentuan yang berpariasi dalam kerjasama tersebut: Hanabilah: hanya membolehkan dalam syaraikah al-abdan (badan) dan syarikah al-maal (harta); Malikiah: mensyaratkan adanya izin bertindak atas nama kerjasama tersebut dari ke dua pihak; Hanafiah: mensyaratkan adanya ijab-qabul untuk menjadi representative, sehinga ada amanah dalam mengembangkan usaha (modal) kerjasama tersebut.
(3) Syarikah Al-‘Amâl adalah kontrak kerja sama antara dua orang sepropesi untuk menerima pekerjaan secara bersama dan berbagi keuntungan, seperti kerjasama para dokter, advokasi, dan kerjasama seprofesi lainnya. Kerjasama ini sering juga disebut “syarikah al-abdân” atau “syarikah ash-shanâi’”.
v  Malikiah: mensyaratkan adanya kesepakatan dalam jenis usaha dan tempat kerja;
            Ulama klasik lainnya: tidak menetapkan syarat semacam itu, namun Hanafiah: menganggap tidak boleh melakukan kesepakatan kerjasama semacam ini untuk amlak ‘ammah (fasilitas umum) dan bahkan mereka cenderung mengkategorikannya sebagai syarikah al-mufawadah.
(4) Syarikah al-Wujuh adalah kontrak kerjasama antara dua orang atau lebih yang tidak memiliki modal, namun memiliki “reputasi dan prestise baik”  atau ahli dalam bisnis. Dengan reputasi dan prestise itu, ia membeli barang dengan bentuk kredit lalu menjualnya secara tunai. Hasil (keuntungan dan kerugian)  dari kerjasama tersebut dibagi berdasarkan jaminan kepada penyuplai yang disediakan oleh setiap mitra. Kontrak kerjasama seperti ini tidak memerlukan modal, karena hanya didasarkan atas kepercayaan dan jaminan tersebut. Kerjasama seperti ini lazim disebut sebagai syarikah al-mafâlis (syarikah piutang).
v  Ulama klasik (Malikiah, Syafi’iah, Zhahiriah) cenderung tidak membolehkan;
v  Hanafiah dan Hanabilah: menganggapnya boleh.
(5) Syarikah Al-Mudhārabah adalah bagian dari kontrak kerjasama yang banyak dipraktikan diberbagai lembaga keungan dan aktifitas perekonomian syraiah, karena kerjasama ini lebih mengacu pada profit and loss sharing, di mana pihak pemodal (rabbul maal) memberikan modal kepada pengusaha (mudharib) supaya dapat mengelolanya dalam bisnis. Keuntungan dibagi di antara mereka berdua sesuai dengan kesepakatan yang telah ditetapkan.
v  Syafi’iah: kerjasama berbentuk mudharabah ini tidak boleh dilakukan kecuali berbentuk “uang tunai” bukan barang;
v  Jumhur Ulama: membolehkan dengan uang tunai, barang yang bernilai atau yang lainnya.
v  Dalam proyek perbankan dikenal beberapa aplikasi di antaranya: “pembiayaan proyek” dan “modal venture”.
Ø  Dalam “pembiayaan proyek”, al-musyarakah biasanya diaplikasikan untuik pembiayaan proyek, dimana nasabah dan bank sama-sama menyediakan dana untuk proyek tersebut. Setelah proyek itu selesai, nasabah mengembalikan dana tersebut bersama bagi hasil yang telah disepakati untuk bank.
Ø  Sedangkan “modal venture” pada lembaga keuangan khusus yang dibolehkan melakukan investasi dalam kepemilikan perusahaan, al-musyarakah  diterapkan dalam skema modal venture. Penanaman modal dilakukan dalam jangka waktu tertentu dan setelah itu pihak bank melakukan divestasi atau menjual bagian sahamnya, baik secara singkat maupun bertahap.
v  Pembiayaan secara musyarakah memiliki banyak manfaat, diantaranya:
1)      Bank akan menikamati peningkatan dalam jumalah tertentu pada saat keuntungan usaha nasabah meningkat.
2)      Bank tidak berkewajiban membayar dalam dalam jumlah tertentu kepada nasabah pendanaan secara tetap, tetapi disesuaikan dengan pendapatan/hasil usaha bank, sehingga bank tidak pernah mengalami negative/spread.
3)      Pengembalian pokok pembiayaan disesuaikan dengan cash flow / arus kas usaha nasabah, sehingga tidak memberatkan nasabah.
4)      Bank akan lebih selektif dan hati-hati (prudent) mencari usaha yang benar-benar halal, aman dan menguntungkan, karena keuntungan yang riil dan benar-benar terjadi itulah yang dapat dibagikan.
5)      Prinsip bagi hasil dalam mudharabah/musyarakah ini berbeda dengan prinsip bunga tetap, dimana bank akan menagih penerima pembiayaan (nasabah), bahkan sekalipun merugi dan terjadi krisis ekonomi.
Ø  Ada beberapa resiko yang mungkin terjadi pada kontrak kerjasama mudharabah, khususnya pada penerapan dalam pembiayaan relative tinggi, yaitu :
Memungkinkan terjadi
Ø  Side streaming, nasabah menggunakan dana (modal) itu bukan seperti yang tersebut dalam kontrak;
Ø  Ada kelalian dan kesalahan disengaja;
Ø  Ada penyembunyian keuntungan oleh nasabah bila nansabahnya tidak jujur.

Pengertian Musyarakah dari Buku Akuntansi Perbankan Syariah di Indonesia
Pengertian akad musyarakah:
 Musyarakah adalah bentuk kerjasama dua orang atau lebih dengan pembagian keuntungan secara bagi hasil.
            Menurut Dewan Syariah Nasional MUI dan PSAK Np. 106  musyarakah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, dimana masing – masing pihak memberikan kontribusi dana dengan ketentuan dibagi berdasarkan kesepakatan sedangkan kerugian berdasarkan kontribusi dana.
Menurut DR. Jafril Khalil yang dimaksud dengan musyarakah adalah akad antara dua orang atau lebih dengan menyetorkan modal dan dengan keuntungan dibagi sesama mereka menurut porsi yang disepakati.
Jenis akad musyarakah
1.      Berdasarkan eksistensi :
A. Syirkah Al Milk atau perkongsian amlak
Mengandung kepemilikan bersama yang keberadaannya muncul apabila dua orang atau lebih memperoleh kepemilikan bersama atas suatu kekayaan. Syirkah ini bersifat memaksa dalam hokum positif.
Misalnya : dua orang atau lebih menerima warisan atau hibah atau wasiat sebidang tanah.
B. Syirkah Al Uqud
Yaitu kemitraan yang tercipta dengankesepakatan dua orang atau lebih untuk bekerja sama dlam mencapai tujuan tertentu. Setiap mitra berkontribusi dana dn atau dengan bekerja, serta berbagai keuntungan dan kerugian. Syirkah jenis ini dapat dianggap kemitraan yang sesungguhnya Karena pihak yang bersangkutan secara sukarela berkeinginan untuk membuat kerjasama investasi dan berbagi keuntungn dan resiko.
 Syirkah uqud sifatnya ikhtiariyah (pilihan sendiri). Syirkah Al Uqud dapat dibagi menjadi sebagai berikut :
A. Syirkah abdan
Yaitu bentuk syirkah antara dua pihak atau lebih dari kalangan pekerja atau professional dimana mereka sepakat untuk bekerjasama mengerjakan suatu pekerjaan dan berbagi penghasilan yang diterima.
Syirkah ini dibolehkan oleh ulama malikiyah, hanabilah dan zaidiyah dengan alasan tujuan dari kerjasama ini adalah mendapat keuntungan selain itu kerjasama ini tidak hanya pada harta tetapi dapat juga pada pekerjaan.
Sedangkan ulama syafiiyah, imamiyah dan zafar dari golongan hanafiyah menyatakan bahwa sirkah jenis ini batal karena syirkah itu dikhususkan pada harta (modal) dan bukan pada pekerjaan.
B. Syirkah wujuh
Kerjasama antara dua pihak dimana masing – masing pihak sama sekali tidak menyertakan modal dan menjalankan usahanya berdasarkan kepercayaan pihak ketiga. Penamaan wujuh ini dikarenaknan jual beli tidak terjadi secara kontan. Kerjasama ini hanya berbentuk kerjasama tanggungjawab bukan modal atau pekerjaan.
Ulama hanafiyah, hanabilah dan zaidiyah membolehkan syirkah ini sebab mengandung unsure perwakilan dari seorang partner dalam penjualan dan pembelian.
Ulama malikiyah, sayifiiyah berpendapat bahwa syirkah ini tidak sah karena syirkah ini gada unsur kerjasama modal atau pekerjaan.
C. Syirkah inan
Sebuah persekutuan dimana posisi dan komposisi pihak – pihak yang terlibat di dalamnya adalah tidak sama, baik dalam modal maupun pekerjaan.
Ulama foqoh membolehkan syirkah ini.
D. Syirkah muwafadah
Sebuah persekutuan dimana posisi dan komposisi pihak – pihak yang terlibat didalamnya harus sama, baik dalam hal modal, pekerjaan, agama, keuntungan maupun resiko kerugian. Jika komposisi modal tidak sama maka syirkahnya batal.
Menurut pendapat ulama hanafiyah dan maliki syirkah ini boleh.
Namun menurut syafii dan hanabilah dan kebanyakan ulama fiqih lain menolaknya karena syirkah ini tidak dibenarkan syara, selain itu syarat untuk menyamakan modal sangatlah sulit dilakukan dan mengundang unsur ke-gharar-an.
2. berdasarkan pernyataan standar akuntansi keuangan(PSAK) :
A. Musyarakah permanen
Musyarakah permanen adalah musyarakah dengan ketentuan bagian dana setiap mitra dotentukan saat akad dan jumlahnya tetap hingga akhir masa akad (PSAK No 106 par 04). Contohnya :
Antara mitra A dan mitra p yang telah melakukan akad musyarakah menanamkan modal yang jumlah awal masing – masing Rp 20 juta, maka sampai akhir masa akad syirkah modal mereka masing – masing tetap Rp 20 juta.
B. Musyarakah menurun atau musyarakah mutanaqisah
Musyarakah menurun adalah musyarakah dengan ketentuan bagian dana salah satu mitra akan dialihkan secara bertahap kepada mitra lainnya sehingga bagian dananya akan menurun dan pada akhir masa akad mitra lain tersebut akan menjadi pemilik penuh usaha musyarakah tersebut.
Contohnya:
Mitra A dan mitra P melakukan akad usyarakah, mitra P menanmkan Rp 100 juta dan mitra A menanamkan Rp 200 juta. Seiring berjalannya kerjasama akad musyarakah tersebut, modal mitra P sebesar Rp 100 juta akan beralih kepada mitra A melalui pelunasan secara bertahap yang dilakukan oleh mitra A.
SUMBER HUKUM AKAD SYARIAH
Al Quran QS 4:12 dan QS 38:24
Perlakuan Akuntansi PSAK 106
Perlakuan akuntansi untuk transaksi musyarakah akan dilihat dari dua sisi pelaku yaitu mitra aktif dan mitra pasif. Yang dimaksud dengan mitra aktif adalah pihak yang mengelola usaha musyarakah baik mengelola sendiri maupun menunjuk pihak lain untuk mengelola atas namanya, sedangkan mitra pasif adalah pihak yang tidak ikut mengelola usaha (biasanya lembaga keuangan).
Mitra aktif adalah pihak yang bertanggungjawab melakukan pengelolaan sehingga ia yang wajiib melakukan pencatatan akuntansi .
RUKUN DAN KETENTUAN SYARIAH dalam AKAD MUSYARAKAH
1. Unsur – unsur yang harus ada dalam akad musyarakah ada 4 :
a. Pelaku terdiri dari para mitra
b. Objek musyarakah berupa modal dan kerja
c. Ijab qabul
d. Nisbah keuntungan (bagi hasil)
2.      Ketentuan syariah
a. Pelaku : mitra harus cakap hokum dan baligh
b. Objek musyarakah harus :
Modal :
- Modal yang diberikan harus tunai
- Modal yang diserahkan dapat berupa uang tunai, emas, asset perdagangan atau asset tak berwujud seperti hak paten dan lisensi.
- Apabila modal yang diserahkan dalam bentuk nonkas, maka harus ditentukan nilai tunainy aterlebih dahulu dan harus diseoakati bersama.
- Modal para mitra harus dicampur, tidak boleh dipisah.
Kerja :
- Partisipasi mitra merupakan dasar pelaksanaan musyarakah
- Tidak dibenarkan jika salah satu mitra tidak ikut berpartisipasi
- Setiap mitra bekerja atas dirinya atau mewakili mitra’
- Meskipun porsi mitra yang satu dengan yang lainnya tidak harus sama, mitra yang bekerja lebih banyak boleh meminta bagian keuntungan lebih besar.
c. Ijab qabul
Ijab qabul disini adalah pernyataan tertulis dan ekspresi saling ridha antara para pelaku akad.
d. Nisbah
- Pembagian keuntungan harus disepakati oleh para mitra.
- Perubahan nisbah harus disepakati para mitra.
- Keuntungan yang dibagi tidak boleh menggunakan nilai proyeksi akan tetapi harus menggunakan nilai realisasi keuntungan.

BERAKHIRNYA AKAD MUSYARAKAH
a. Jika salah satu pihak menghentikan akad
b. Salah seorang mitra meninggal atau hilang kal. Dalam hal ini bias digantikan oleh ahli waris jika disetujui oleh para mitra lainnya.
c. Modal musyarakah habis
Menurut buku “Bank Syariah, dari teori ke praktik” yang ditulis oleh Muhammad Syafi’i Antonio,
Dalam buku “Bank Syariah, dari teori ke praktik” yang ditulis oleh Muhammad Syafi’i Antonio, Musyarakah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (atau amal/expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
Sedangkan Sunarto Zulkifli, dalam bukunya “Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syariah” menuliskan bahwa yang dimaksud dengan musyarakah adalah akad kerjasama atau percampuran antara dua pihak atau lebih untuk melakukan suatu usaha tertentu yang halal dan produktif dengan kesepakatan bahwa keuntungan akan dibagikan sesuai nisbah yang disepakati dan risiko akan ditanggung sesuai porsi kerjasama.
Jadi dapat disimpulkan bahwa musyarakah adalah kerjasama yang dilakukan oleh dua orang pemilik modal atau lebih untuk sebuah usaha yang keuntungan dan kerugiannya ditanggung sesuai dengan kesepakatan bersama.
b.      Landasan Syar’i
1.      Al-Qur’an
“Dan, sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain kecuali orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh.” (Q.S. Shaad : 24).
2.      Al-Hadits
“Dari Abu Hurairah, Rasulullah saw. Bersabda : Sesungguhnya Allah Azzawa Jalla berfirman, “Aku pihak ketiga dari dua orang yang berserikat selama salah satunya tidak menghianati yang lainnya.” (HR. Abu Dawud no. 2936, dalam kitab al-Buyu, dan Hakim).
3.      Ijma’
Dalam kitab al-Mughni,[1][6] Ibnu Qudamah berkata “Kaum muslimin telah berkonsensus terhadap legitimasi musyarakah secara global walaupun terdapat perbedaan pendapat dalam beberapa elemen darinya.”

c.       Rukun Musyarakah
1.      Para pihak yang ber-syirkah
2.      Porsi kerjasama
3.      Proyek / usaha (masyru’)
4.      Ijab qabul (sighat)
5.      Nisbah bagi hasil

d.      Jenis-jenis Musyarakah
Musyarakah ada dua jenis, yaitu :
1.      Musyarakah pemilikan tercipta karena warisan, wasiat atau kondisi lainnya yang mengakibatkan sebuah aset dimiliki oleh dua orang. Dalam musyarakah ini kepemilikan dua orang dalam sebuah aset nyata juga berbagi pula pada keuntungan yang dihasilkan dari asset tersebut.
2.      Musyarakah akad tercipta dengan cara adanya kesepakatan antara dua orang atau lebih untuk memberikan modal serta kesepakatan berbagi keuntungan dan kerugian. Musyarakah akad terbagi menjadi :
a.       Musyarakah mufawadhah, yaitu kerjasama antara dua pihak atau lebih dengan porsi dana yang sama.
b.      Musyarakah al-‘inan, yaitu kerjasama antara dua pihak atau lebih dengan porsi dana yang berbeda.
c.       Musyarakah wujuh, yaitu kerjasama antara pemilik dana dengan pihak lain yang memiliki kredibilitas atau kemampuan serta kepercayaan.
d.      Musyarakah abdan, yaitu kerjasama atau percampuran tenaga atau profesionalisme antara dua pihak atau lebih.

C.    MUSYARAKAH MUTANAQISHAH
Musyarakah mutanaqishah (perkongsian yang mengecil) adalah suatu bentuk musyarakah dimana porsi dana salah satu pihak akan menurun terus hingga akhirnya menjadi nol. Ketika hal ini telah terjadi maka kepemilikan akan berpindah kepada pihak yang lain. Pada kerjasama ini kedua belah pihak mencampurkan dananya untuk membiayai sebuah usaha/proyek, yang nantinya secara bertahap porsi modal salah satu pihak akan berkurang hingga menjadi nol.[2][8]
Sebagai contoh kasus adalah : pihak bank dan nasabah bekerja sama dalam sebuah pengadaan barang atau sebuah usaha. Misalnya saja penyewaan rumah mewah yang mana pihak bank mempunyai saham 50% dan pihak nasabah 50%. Harga rumah tersebut sejumlah Rp. 100.000.000,-, jadi bank berkontribusi Rp. 50.000.000,- dan nasabah Rp.50.000.000,-.
Seandainya sewa yang dibayarkan oleh penyewa sebesar Rp.2.000.000,- per bulan maka pada realisasinya Rp.1.000.000, menjadi bagian bank dan Rp.1.000.000,- menjadi bagian nasabah. Akan tetapi karena nasabah ingin memiliki rumah tersebut maka uang Rp.1.000.000,- itu dijadikan pembelian saham dari saham bank. Dengan demikian saham nasabah setiap bulan akan semakin bertambah dan saham bank semakin mengecil hingga akhirnya nasabah akan memiliki 100% saham rumah dan pihak bank tidak lagi memiliki saham atas rumah tersebut.

D.    MANFAAT DAN RESIKO PEMBIAYAAN MUSYARAKAH
Terdapat beberapa manfaat dan resiko dalam pembiayaan musyarakah ini, yang mana diantaranya adalah sebagai berikut.
a.       Manfaatnya :
-          Bank akan menghasilkan peningkatan dalam jumlah tertentu ketika keuntungan usaha nasabah meningkat.
-          Bank tidak wajib membayar dalam jumlah tertentu kepada nasabah dalam pendanaan secara tetap, tetapi disesuaikan dengan pendapatan/hasil usaha bank, sehingga bank tidak akan mengalami negative spread.
-          Pengembalian pokok pembiayaan disesuaikan dengan arus kas usaha nasabah, sehingga nasabah tidak diberatkan.
-          Bank akan lebih selektif dan hati-hati mencari usaha yang benar-benar halal, aman dan menguntungkan.
-          Bagi hasil pada musyarakah ini berbeda dengan prinsip bunga pada bank konvensional.
b.      Resikonya :
-          Nasabah menggunakan dana itu bukan seperti yang disebut dalam kontrak.
-          Lalai dan kesalahan yang disengaja.
-          Nasabah menyembunyikan keuntungan, apabila nasabah tersebut tidak jujur.

Menurut International Islamic Bank of Investment and Development
mendefinisikan musyarakah sebagai suatu metode yang didasarkan pada keikutsertaan bank dan pencari pembiayaan (mitra potensial) untuk suatu proyek tertentu dan keikutsertaan dalam menghasilkan laba atau rugi. Sedangkan dalam bukunya muhamad, dikatakan bahwa musyarakah merupakan suatu perkongsian atau kerja sama antara dua pihak atau lebih dalam suatu proyek dimana masing-masing pihak berhak atas segala keuntungan dan bertanggung jawab akan segala kerugian yang terjadi sesuai dengan penyertaan masing-masing.  Syirkah atau musyarakah dalam bahasa Arabnya berarti pencampuran atau interaksi. Sementara dalam terminologi ilmu fiqh, syirkah berarti persekutuan usaha untuk mengambil hak atau operasi.
Fatwa DSN No.08/DSN-MUI/IV/2000
Sedangkan pengertian musyarakah (Joint Venture Profit Sharing) dalam Fatwa DSN No.08/DSN-MUI/IV/2000 adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana atau ekspertise (keahlian) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan risiko ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
Secara umum, inti musyarakah dapat kita pahami sebagai suatu usaha kerja sama dari dua pihak atau lebih terhadap suatu proyek untuk menghasilkan keuntungan dengan kesepakatan dalam kontrak. Musyarakah dapat digunakan untuk membiayai berbagai macam kegiatan usaha selama itu tidak bertentangan dengan syari’ah Islam. Modal yang ada digunakan dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan bersama, sehingga tidak boleh digunakan untuk kepentingan pribadi atau dipinjamkan pada pihak lain tanpa seizin mitra lainnya.
Dalam tuntunan ajaran islam dijelaskan bahwa kerja sama dalam melakukan kegiatan kebaikan di masyarakat adalah sangat dianjurkan bahkan dapat bernuansa wajib. Hal ini karena faktor manfaat yang diraih oleh pihak-pihak yang melakukan kerja sama. Dengan bergabungnya dua orang atau lebih, hasil yang diperoleh diharapkan jauh lebih baik dibandingkan jika dilakukan sendiri, karena didukung oleh kemampuan akumulasi modal yang lebih besar, relasi bisnis yang luas, keahlian yang beragam, wawasan yang lebih luas, pengendalian yang lebih tinggi dan lain sebagainya.
Setiap mitra harus memberi kontribusi dalam perkerjaan dan dia menjadi wakil mitra lain juga sebagai agen bagi usaha kemitraan, sehingga seorang mitra tidak dapat lepas tangan dari aktivitas yang dilakukan mitra lainnya dalam menjalankan aktivitas bisnis yang normal.
Apabila usaha tersebut untung, maka keuntungan akan dibagikan kepada para mitra sesuai  dengan nisbah yang telah disepakati (baik presentase maupun periodenya harus secara tegas dan jelas ditentukan di dalam perjanjian), sedangkan bila rugi akan didistribusikan kepada para mitra sesuai dengan porsi modal dari setiap mitra.
Dalam musyarakah, dapat ditemukan aplikasi ajaran islam tentang ta’awun (gotong royong), ukhuwah (persaudaraan) dan keadilan. Keadilan sangat terasa dalam penentuan nisbah untuk pembagian keuntungan yang bisa saja berbeda dari porsi modal sebelumnya, hal ini bisa disebabkan karena ada faktor lain, misalnya keahlian, pengalaman, ketersedian waktu dan sebagainya. Selain itu keuntungan yang dibagikan pada pemilik modal merupakan keuntungan riil, bukan merupakan nilai  nominal yang telah ditetapkan sebelumnya seperti bunga dan riba. Prinsip keadilan juga dirasa ketika orang yang punya modal lebih besar akan menanggung risiko finansial yang juga lebih besar.

B.     Landasan Musyarakah
1.      Al-Qur’an
“…….Maka mereka berserikat pada sepertiga…..(QS. An Nisa:12).

Dan Sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh”. (QS. Shaad: 24).

Kedua ayat di atas menunjukkan bahwa Allah SWT membenarkan adanya perserikatan dalam kepemilikan harta. Pada ayat yang pertama menjelaskan bahwa syirkah terjadi secara otomatis karena waris. Sedangkan pada ayat yang kedua, syirkah terjadi karena adanya akad.

2.      Al-Hadits
عن أبي هريرة رفعه قال إن الله يقول أنا ثالث الشريكين مالم يخن أحدهما صاحبه     “Dari Abu Hurairah, Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla berfirman, “Aku pihak ketiga dari dua orang yang berserikat selama salah satunya tidak mengkhianati lainnya”. (HR Abu Daud).
Hadist tersebut menunjukkan kecintaan Allah kepada hamba-hambanya yang melakukan perserikatan selama saling menjunjung tinggi amanah kebersamaan dan menjahui pengkhiyanatan.

3.      Ijma
Ibnu Qudamah dalam kitabnya, al-Mughni, telah berkata, “Kaum muslimin telah berkonsensus terhadap legitimasi musyarakah secara global, walaupun terdapat perbedaan pendapat dalam beberapa elemen”.

C.    Rukun dan Syarat Musyarakah
1.      Rukun Musyarakah
a)      Sighoh, ucapan ijab dan qabul
b)      Pihak yang melaksanakan syirkah (kontrak)
c)      Obyek kesepakatan (modal dan kerja)
d)     Nisbah bagi hasil
2.      Syarat Musyarakah
a.       Pihak yang melaksanakan kontrak mengerti akan hukum
b.      Modal harus tunai, dalam jumlah yang dapat dihitung
c.       Porsi pembagian keuntungan disepakati bersama
d.      Jenis usaha fisik yang dilakukan dapat diwakilkan kepada orang lain
D.    Jenis-jenis Musyarakah
1.      Syirkatul Amlak (Musyarakah Pemilikan)
Syirkatul amlak mengandung pengertian sebagai kepemilikan bersama dan keberadaannya muncul apabila dua orang atau lebih secara kebetulan memperoleh kepemilikan bersama atas suatu kekayaan tanpa membuat suatu perjanjian atau kontrak yang resmi. Syirkah model ini pada dasarnya tidak dapat dianggap sebagai suatu kemitraan (partnership) dalam pengertian yang sesungguhnya, karena adanya bukan berdasarkan kesepakatan untuk berbagi untung dan rugi. Misalnya dua orang atau lebih menerima warisan, hibah, atau wasiat sebidang tanah atau harta kekayaan baik yang dapat dibagi atau tidak dibagi-bagi.

2.      Syirkatul Uqud (Musyarakah Akad atau Kontrak)
Musyarakah ini tercipta karena adanya kesepakatan antara dua orang atau lebih dengan sama-sama memberikan modal musyarakah dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan. Syirkah jenis ini dapat dianggap sebagai kemitraan yang sesungguhnya, karena para pihak yang bersangkutan secara sukarela berkeinginan untuk membuat suatu kerja sama investasi dan berbagi untung dan risiko. Di dalam buku-buku fiqh dijelaskan bahwa syirkatul uqud ini terbagi menjadi beberapa macam:
a.       Syrikah al-‘Inan (شركة العنان)
Syrikah al-‘inan merupakan suatu kontrak  kerja sama antara dua orang atau lebih yang masing-masing pihak memberikan modal, baik dalam bentuk uang atau tenaga, maupun dalam bentuk kombinasi dari investasi-investasi tersebut. Akan tetapi porsi masing-masing pihak, baik dalam dana maupun kerja atau bagi hasil tidak harus sama, tetapi sesuai dengan kesepakatan mereka.
Syrikah al-‘inan mempunyai karakter-karakter, yakni:
1)      Besarnya penyertaan modal dari masing-masing anggota tidak harus sama.
2)      Masing-masing anggota mempunyai hak penuh untuk aktif langsung dalam pengelolaan usaha, tetapi juga dapat menggugurkan haknya.
3)      Pembagian keuntungan dapat didasarkan atas prosentase modal masing-masing, tetapi dapat pula atas dasar negosiasi. Hal ini dikarenakan adanya kemungkinan tambahan kerja, atau penanggung risiko dari salah satu pihak.
4)      Kerugian ditanggung bersama sesuai dengan besarnya penyertaan modal masing-masing pihak.
Syirkah ini merupakan bentuk kerjasama yang paling banyak diterapkan dalam dunia bisnis, hal ini dikarenakan keluasan ruang lingkupnya dan kefleksibelan syaratnya-syaratnya.
b.      Syirkah al-Mufawwadhah (شركة المفاوضة)
Syirkah al-mufawwadhah merupakan suatu kontrak  kerja sama antara dua orang atau lebih yang setiap pihak memberikan suatu porsi dari keseluruhan dana dan berpartisipasi dalam kerja, setiap pihak membagi keuntungan dan kerugian secara sama. Dengan demikian, syarat utama dari jenis musyarakah ini adalah kesamaan dana yang diberikan, kerja, tanggung jawab, dan beban hutang dibagi oleh masing-masing pihak.
Syirkah al-mufawwadhah mempunyai karakter-karakter, yakni:
1)      Penyertaan modal dari setiap anggota sama.
2)      Setiap anggota menjadi wakil dan kafil (guarantor) bagi partner lainnya, untuk itu keaktifan semua anggota dalam pengelolaan usaha menjadi suatu keharusan.
3)      Pembagian keuntungan dan kerugian didasarkan atas besarnya modal masing-masing.
c.       Syirkah al-A’mal (  شركة الأعمال)
Syirkah al-a’mal merupakan merupakan suatu kontrak  kerja sama antara dua orang atau lebih yang satu profesi untuk menerima pekerjaan secara bersama dan berbagi keuntungan dari pekerjaan tersebut.  Para mitra mengkontribusikan keahlian dan tenaganya untuk mengelola bisnis tanpa menyetorkan modal, hasil upah dari perkerjaan tersebut dibagi dengan hasil kesepakatan mereka.
Dalam syirkah ini, jenis keahlian yang dimiliki para mitra dapat sama atau berbeda, demikian juga dengan waktu yang dicurahkan atau lokasi kerja pun dapat sama atau berbeda. Syirkah ini juga sering disebut dengan syirkah al-Abdan.
d.      Syirkah al-Wujuh (شركة الوجوه)
Syirkah al-wujuh merupakan suatu akad kerja sama antara dua pihak atau lebih dimana masing-masing pihak sama sekali tidak menyertakan modal. Mereka hanya menjalankan berdasarkan kepercayaan pihak ketiga, masing-masing menyumbangkan nama baik, reputasi, tanpa menyetorkan modal. Bentuk syirkah ini biasanya hanya digunakan untuk usaha kecil saja, misalnya ketika ada dua orang atau lebih yang memiliki reputasi yang baik dalam bisnis memesan suatu barang untuk dibeli dengan kredit dan kemudian menjualnya dengan kontan. Keuntungan dari usaha ini dibagi berdasarkan persyaratan yang telah disepakati bersama.
E.     Manfaat dan Risiko Musyarakah

1.      Manfaat Musyarakah
a.       Bank akan menikmati peningkatan dalam jumlah tertentu pada saat keuntungan usaha nasabah meningkat.
b.      Bank tidak berkewajiban membayar dalam jumlah tertentu kepada nasabah pendanaan secara tetap, tetapi disesuaikan dengan pendapatan atau hasil usaha bank, sehingga bank tidak akan pernah mengalami negative spread.
c.       Pengambilan pokok pembiyaan disesuaikan dengan cash flow atau arus kas usaha nasabah, sehingga tidak memberatkan nasabah.
d.      Bank akan lebih selektif dan hati-hati dalam mencari usaha yang benar-benar halal, aman, dan menguntungkan. Hal ini karena keuntungan yang riil dan benar-benar terjadi itulah yang akan dibagikan.
e.       Prinsip bagi hasil dalam musyarakah ini berbeda dengan prinsip bunga tetap, dimana bank akan menagih penerima pembiyaan (nasabah) satu jumlah bunga tetap berapapun keuntungan yang dihasilkan nasabah, bahkan ketika nasabah sedang mengalami kerugian dan pada saat terjadi krisis ekonomi.

2.      Risiko Musyarakah
a.       Mitra menggunakan dana itu bukan seperti yang disebut kontrak.
b.      Lalai dan kesalahan yang disengaja.
c.       Mitra kerja tidak jujur.

F.     Berakhirnya Akad Syirkah[3][9]
1.       Proyek/usaha telah selesai
2.       Salah satu pihak mundur
3.       Salah satu pihak meninggal dunia
4.       Salah satu pihak kehilangan kecakapan hukum
5.       Modal atau proyek/usaha hilang total

Kontrak syirkah dapat dilakukan untuk satu periode tertentu, ketika  berakhirnya periode akad maka otomatis kontrak itu berubah tanpa adanya keputusan baru yang diambil.
Keempat ahli fikih islam berpendapat sama bahwa setiap pihak boleh mengakhiri perjanjian syirkah kapan saja[4][10] tetapi keputusan untuk mengakhiri hanya sah apabila dilakukan dengan kehadiran sesama mitra usaha. Jika ada dua orang mitra usaha atau lebih, kontrak bisa dilanjutkan atas persetujuan dari mitra-mitra usaha yang masih ada. Dalam hal ini Ahmad al Dardir berpendapat bahwa mitra usaha seperti penanaman modal, keduanya mempunyai hak untuk mengakhiri kontrak sebelum bisnis dimulai, ketika mitra usaha sudah memulai suatu usaha, dia hanya akan memiliki hak untuk mengakhiri kontrak setelah barang-barang terjual dengan tunai.
Suatu kontrak syirkah berakhir disebabkan meninggalnya salah seorang mitra, bila ada lebih dari dua mitra usaha kontrak tersebut dapat dilanjutkan dengan persetujuan dari orang yang masih ada. Dalam hal ini Ibnu Rushd mengutip pendapat dari para ahli fiqh bahwa kontrak syirkah tidak dapat dilanjutkan dengan ahli waris (dari mitra yang meninggal),  hal ini berbeda dengan pandangan M. Nejatullah.
BUKU PERBANGKAN ISLAM DAN KEDUDUKANNYA DIMATA HUKUM INDONESIA OLEH Prof.Dr.Sutan Remy Sjahdeini, S.H


musyarakah dalam bahasa inggris disamakan dengan partnership , lembaga –lembaga keuangan islam menerjemahkannya dalam istilah “participation financing” ,dan menurut hemat penulis bias disamakan arti dengan kemitraan,persekutuan atau perkongsian.
Dalam musyarakah atau lebih mitra menyumbang untuk memberikan modal guan membiayai suatu  investasi, dan dalam pengaplikasiannya dalam dunia perbangkan, bank memberikan fasilitas musyarakah kepada nasabahnya untuk berpartisipasi dalam proyek baru atau dalam suatu perusahaan yang telah berdiri dengan cara membeli saham dari perusahaan tersebut. Hasil keuntungan akan dibagi dengan cara pembagian keuntungan dan kerugian, seperti istilah yang dipakai undang- undang No.10 tahun 1998.
Jenis musyarakah :
-sharikah mulk  atau  syirkah al-milk
-sharikah  aqad  atau  syirkah al uqud

Dalam buku fikh Syirkah al uqud dibagi 4 jenis , yaitu :
1.almufawwadhah
2.al -inan
3.al- abdan
4.al- wujuh

DALAM BUKU PRODUK PERBANGKAN SYARIAH  oleh Wiroso

Dalam glosari himpunan fatwa dewan syariah nasional dijelaskan pengertian musyarakah sebagai berikut :
Musyarakah adalah akad antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, dimana masing masing pihak memberikan konstribusi dana , dengan ketentuan bahwa keuntungan resiko akan ditanggung bersama sesuai kesepakatan. Ada beberapa istilah yang dikeluarkan  kamus istilah keuangan dan perbangkan syariah :
·         Musyarakah  : akad antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, dimana masing masing pihak memberikan konstribusi dana , dengan ketentuan bahwa keuntungan resiko akan ditanggung bersama sesuai kesepakatan,sedangkan kerugian ditanggung sesuai denagn partisipasi modal
·         Musyarakah fil ribbi : berbagi keuntungan antara bank dan nasabah
·         Muhaqalah : kerjasama dalam bidang perkebunan
·         Mukhabarah : kerjasama dibidang pengelolaan pertanian
\
Rukun musayarakah :
·         Pihak yang berakad
·         Objek akad / proyek atau usaha
·         Shigat/ ijab Kabul

Syarat musyarakah: 
·         ijab qobul
·         para pihak yg membuat kontrak
·         pokok masalah dalam kontar : modal atau  pekerjaan

jenis dan alur transaksi musyarakah :
·         musyarakah permanen : musyarakah ketentuan bagian  dana setiap ditentukan sesuai akad dan jumlahnya tetap sampai masa selesai
·         musyarakah turunan : musyarakah ketentuan bagian dana secara bertahap secara menurun hingga mitra tersebut menjadi pemilik penih usaha

unsur-unsur musyarakah:
·         modal
·         pekerjaan
·         keuntungan dan kerugian
·         aturan pengakhiran masyarakah

PENUTUP

Musyarakah merupakan akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk menjalankan suatu usaha tertentu dengan tujuan mencari keuntungan di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi modal atau kerja. Hal ini akan membedakan antara musyarakah dengan mudharabah, dimana dalam mudharabah hanya salah satu pihak saja sebagai penyandang dana.
Setiap mitra harus memberi kontribusi dalam perkerjaan dan dia menjadi wakil mitra lain yaitu sebagai agen usaha kemitraan. Oleh karena itu, seorang mitra aktivitas bisnis yang normal, apabila usaha tersebut untung maka keuntungan akan dibagikan kepada para mitra sesuai dengan nisbah yang disepakati, sedangkan bila rugi akan didistribusikan kepada para mitra sesuai dengan porsi modal dari setiap mitra atau berdasarkan kesepakatan bersama sebelumnya.
Musyarakah adalah transaksi yang halal, karena disandarkan atas sumber hukum yang kuat baik Al-Quran maupun As-sunah, sepanjang seluruh rukun dan sesuai dengan ketentuan syari’ah. Ajaran islam dapat membenarkan prinsip kerja sama ini selama dimaksudkan untuk lebih mengoptimalkan penggunaan sumber daya yang dikelola, dan dapat memecahkan kemaslahatan problem-problem sosial, serta bermanfaat bagi kemaslahatan umat manusia dan lingkungannya.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Muslih, Abdullah dan Shalah ash-Shawi, Fikih Ekonomi Keuangan Islam, Jakarta: Darul Haq, 2004.
Antonio, Muhammad Syafi’i, Bank Syari’ah: Dari Teori ke Praktik, Jakarta: Gema Insani, 2001.
Muhamad, Sistem dan Prosedur Operasional Bank Syari’ah, Yogyakarta: UII Press, 2000.
Muslich, Bisnis Syari’ah Perspektif Mu’amalah dan Manajemen, Yogyakarta: UPP STIM YKPN, 2007.
Saeed, Abdullah, Menyoal Bank Syari’ah: Kritik atas Interpretasi Bunga Bank Kaum Neo-Revivalis, Jakarta: Paramadina, 2006.
Siddiqi, M. Nejatullah, Kemitraan Usaha dan Bagi Hasil dalam Hukum Islam : Seri Ekonomi Islam No. 5, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 1996.
Sjahdeini, Sutan Remy, Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia, Jakarta: IKAPI, 2007.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar